Tekanan Global Mendorong Koreksi Pasar Saham, Indonesia Berharap Stimulus Positif dari Domestik di Kuartal Dua
JAKARTA. Tekanan terhadap pasar modal dan valuta asing di dalam negeri diharapkan akan mulai mereda seiring menurunnya yield T-bond dan VIX yang mengukur volatilitas indeks saham bursa saham Amerika Serikat.
Direktur Strategi Investasi dan Kepala Makroekonomi PT Bahana TCW Management, Budi Hikmat memandang, koreksi pada pasar modal dan valuta selama triwulan pertama 2018 lebih banyak terkait faktor global terutama antisipasi kenaikan Fed fund rate dan kegaduhan perang dagang.
Sepanjang triwulan lalu, IHSG terkoreksi 2,62%. Angka ini relatif lebih rendah bila dibanding indeks saham bursa India (-3,2%), Tiongkok (-4.18%), Nikkei Jepang (-5.5%) dan Filipina (-6.8%).
Pada periode yang sama, kinerja investasi obligasi negara berdasarkan Asian Bond Fund – Indonesia mencapai 0,19%. Sejak pertengahan Maret 2018, investor asing nampak kembali masuk membeli obligasi negara. Hal ini menopang kinerja Indeks Asian Bond Fund – Indonesia selama Maret 2018 sebesar 0,58% yang sempat mengalami koreksi tajam selama Februari 2018.
Sementara kurs rupiah terdepresiasi 1,2% selama tahun berjalan. Upaya stabilisasi kurs oleh Bank Indonesia terlihat menyebabkan posisi cadangan devisa berkurang sekitar empat miliar dolar. Pada periode ini, mata uang bath Thailand menguat 4,6% namun peso Filipina melemah 4%.
Rencana kenaikan tarif impor baja dan aluminium di AS telah memicu risiko perang dagang antara AS dengan mitra dagangnya terutama Tiongkok. Presiden AS Donald Trump menuduh Beijing melakukan perdagangan yang tidak sehat yang membuat Amerika defisit hingga US$ 375 juta sepanjang tahun 2017 lalu.
Pemerintah Tiongkok diberitakan akan membalas tindakan AS dengan mengenakan tarif impor terhadap barang-barang negeri Paman Sam tersebut. “Ketegangan ini berisiko menurunkan volume of trade yang kurang menguntungkan emerging market yang memiliki ketergantungan supply chain dengan Tiongkok,” ungkap Budi.
Sebenarnya menurut Budi, hubungan Tiongkok dan Amerika Serikat itu terbilang unik. Pasalnya, Tiongkok selama ini menyediakan beraneka barang yang lebih murah yang tidak dapat diproduksi di Amerika Serikat. Demikian juga Tiongkok merupakan negara kreditor terbesar bagi Amerika dengan penempatan pada Tbond senilai US$1,17 triliun per Januari 2018 lalu. Kebijakan pemangkasan pajak menyebabkan Amerika Serikat lebih membutuhkan partisipasi kreditur, terutama Tiongkok. Bayangkan jika Tiongkok melepas US$ 100 miliar saja, tak hanya pasar AS yang bergejolak, tapi market global juga dapat terimbas.
“Kita perlu mencermati perkembangan solusi ekonomi dan politik terkait perang dagang antara AS dengan Tiongkok. Selama triwulan lalu, investor memang cenderung melakukan aksi ambil untung (profit taking) seiring kenaikan bursa saham di AS dan negara berkembang lainnya yang cukup tinggi beberapa tahun terakhir,” jelas Budi Hikmat.
Bagaimana dengan Indonesia?
Saat ini market Indonesia cukup banyak terimbas dari sentiment global, lantaran sedikitnya sentimen domestik. Di pasar obligasi, Bahana memproyeksikan, kondisi pasar obligasi Indonesia mulai membaik meski belum signifikan. “Selama yield obligasi pemerintah di atas 6,5%, investor pasti akan tertarik. Kami juga berharap agar Bank Indonesia tetap menjaga suku bunga BI 7-day Repo Rate pada level 4.25% hingga akhir tahun, untuk memacu pertumbuhan kredit,” sebut Budi Hikmat.
Sementara, pasar saham Indonesia masih membutuhkan stimulus positif karena melihat koreksi yang sudah cukup dalam. “IHSG secara teknikal memang sudah terkoreksi cukup dalam. Apakah ini opportunity? Indonesia membutuhkan sentimen domestik positif untuk bisa membangkitkan kembali keyakinan investor asing,” ungkap Budi.
Beberapa stimulus positif yang dinantikan dan dapat menggairahkan pasar kembali diantaranya adalah data fiskal pada bulan Mei, baik penerimaan pajak dan pengeluaran pemerintah.
Hasil pelaporan pajak individu (SPT) pada Maret dan SPT Perusahaan pada April mendatang bisa memberi kepercayaan bagi para investor. Apalagi, penerimaan pajak dari Januari hingga Februari 2018 lalu tumbuh 13,48%. Data ini penting untuk menunjukkan bahwa Indonesia dapat membiayai percepatan infrastruktur secara lebih mandiri dan mengurangi penerbitan utang.
Direktur Riset dan Kepala Investasi Alternatif PT Bahana TCW Investment Management, Soni Wibowo, menambahkan laporan keuangan emiten kuartal satu tahun ini juga bisa menjadi katalis positif bagi IHSG. “Sebagian besar laporan keuangan perusahaan pada kuartal empat lalu masih sesuai dengan ekspektasi analis atau consensus. Maka itu, kami berharap hasil kinerja emiten kuartal satu juga akan tetap terjaga,” terang Soni Wibowo.
Beberapa sektor industri mencatat pertumbuhan kinerja yang sesuai dengan proyeksi analis. Misalnya, sektor pertambangan, terutama batubara dan sektor perbankan. Akan tetapi, sebagian sektor juga membukukan pertumbuhan di bawah target, seperti sektor telekomunikasi yang memiliki pertumbuhan margin melandai disebabkan kepemilikan telepon yang sudah optimum. Sektor industri semen juga melambat karena menghadapi persaingan ketat dengan semen impor. Adapun, sektor consumer goods, terutama untuk makanan konsumsi belum begitu menunjukkan kinerja yang baik di kuartal satu.
Ke depan, Bahana TCW Investment Management melihat potensi koreksi terhadap IHSG sedikit membaik dibandingkan kuartal sebelumnya. “Indeks mungkin masih sedikit terkoreksi, namun untuk beberapa saham sudah terlihat bahwa valuasinya sudah lebih murah. Portfolio manager sudah mulai menunggu untuk membeli kembali, seiring ekspektasi kinerja keuangan kuartal satu yang diharapkan sesuai dengan harapan,” ungkap Soni Wibowo.
Adapun, bagi para investor yang ingin berinvestasi di reksa dana pasar saham, Bahana menyarankan agar menempatkan investasi secara bertahap sehingga bisa memperoleh hasil yang maksimal.