Jakarta. Pelantikan Kabinet Indonesia Maju yang dilaksanakan pada hari Rabu (23/10) ini disambut positif di pasar finansial Indonesia. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 0,52% pada level 6257,8. Sementara, berdasarkan pasar spot, kurs Rupiah terhadap Dollar menguat pada level 14.051.

 

Budi Hikmat, Kepala Makroekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management (BTIM) menyatakan pasar bereaksi positif baik terhadap komposisi anggota kabinet, pesan dan perintah yang disampaikan oleh Presiden Indonesia Jokowi pada saat perkenalan tadi pagi.

 

Presiden Jokowi menekankan kepada para menterinya untuk berani menempuh terobosan guna meningkatkan peluang kerja, memperkuat kualitas sumber daya manusia, mengendalikan defisit neraca berjalan, merancang pajak yang lebih ramah investasi, memacu industrialisasi substitusi impor hingga mendorong pariwistata.

 

Sejumlah wajah baru Kabinet Indonesia Maju diharapkan untuk meredam polarisasi dalam masyarakat yang memuncak sejak pemilu presiden yang lalu. Susunan kabinet yang merangkul oposisi dan purnawirawan diharapkan mempermudah pemerintah kembali fokus menangani masalah dan tantangan berat menggapai kemakmuran.

 

“Ditetapkan kembali Ibu Sri Mulyani sebagai menteri keuangan menjadi jaminan bahwa kebijakan fiskal yang berhati-hati tetap sebagai anchor of stability yang sejauh ini paling diapresiasi investor melalui survei Global Competitiveness Index. Kita harus memahami ini sangat penting mengingat dengan posisi neraca berjalan yang defisit, Indonesia membutuhkan pembiayaan yang berasal dari investor asing. Investor internasional jgua mengakui ada perbaikan kualitas infrastruktur yang menjadi fokus pemerintahan Presiden Jokowi periode pertama. Pada periode kedua, pemerintah diharapkan fokus mengatasi berbagai tantangan penting yang meliputi reformasi pasar tenaga kerja dan penguatan kualitas sumber daya manusia yang inovatif dan mumpuni dalam bidang teknologi informasi. Investor juga menanti penguatan infrastruktur dasar seperti air, listrik dan gas,” tekan Budi dalam siaran pers (23/10).

 

Tantangan Global Menanti, Surat Berharga menjadi Pilihan Investor

 

Selain menyimak berbagai keberhasilan reformasi struktural dan transformasi sumber daya manusia, Budi Hikmat menekankan proyeksi pasar finansial Indonesia hingga akhir tahun masih dibayangi dengan kondisi global. Berbeda dibanding tahun 2018, Budi lebih optimis terhadap prospek pasar modal tahun 2019 dan 2020 terutama terkait momentum yang lebih bersahabat terhadap negara berkembang.

 

“The Fed dan ECB nampaknya mengikuti strategi Bank of Japan yang menggelontori likuiditas untuk mempermudah masyarakatnya yang menua dalam proses penurunan utang (de-leveraging). Saat ini BoJ menguasai sekitar 45% SBN, jauh melebih ECB (22,4%) dan the Fed (12,9%). Kelebihan likuiditas yang diciptakan aksi quantitative easing ini bakal menjaga suku bunga global rendah lebih lama yang cenderung tidak memicu inflasi. Kondisi seperti ini lebih menguntungkan investasi dalam surat berharga negara (SBN)”, jelas Budi.

 

Budi melihat peluang investasi dalam asset saham baru akan lebih jelas setelah yield SBN bertenor 10 tahun turun dibawah 7% dan ada indikasi penguatan daya beli. Dalam proses investasinya Bahana TCW menggunakan panduan ELVIS (earning, liquidity, valuation, interest rate dan sentiment). Lanjut menurut Budi, kondisi makroekonomi sekarang menyebabkan permutasi lima faktor penggerak dinamika pasar saham diatas menjadi SIVEL. Penurunan credit default swap sebagai indikator sentiment merupakan faktor utama. Suku bunga juga berpeluang turun. Faktor valuasi terbilang netral dengan membandingkan price-to-earning-ratio Indonesia yang lebih murah ketimbang India namun mahal bila dibandingkan China.

 

Dua faktor terakhir yakni earning (laba) menunggu kemampuan pemerintah memacu ekspor manufaktur menyusul penurunan harga komoditas primer yang selama ini menjadi andalan. Sementara faktor likuiditas, investor asing lebih memilih asset SBN yang jelas kurang berisiko dengan imbal hasil yang lebih tinggi dibanding negara berkembang lainnya. Budi mengingatkan selama tiga tahun terakhir, investor asing masih cenderung keluar dari pasar saham.

 

Budi mengingatkan kinerja investasi saham lebih ditentukan oleh stock-picking ketimbang asset allocation. Dahulu, ekspektasi penurunan suku bunga Bank Indonesia biasa memicu kenaikan harga saham sektor property dan otomotif selain perbankan. Namun dengan daya beli yang belum pulih, penurunan suku bunga lebih menopang saham perbankan.

 

“Ada istilah TINA (there is no alternatif) dimana investor terpaksa memilih saham perbankan termasuk karena faktor likuiditas selain kemampuan mempertahankan margin. Namun beberapa waktu lalu, sektor perbankan terhantam isu kredit bermasalah disamping valuasi yagn relatif mahal ketika sektor perbankan dunia dianggap lebih mudah,” jelas Budi. 

 

Hingga akhir tahun, Budi memprediksi IHSG pada kisaran 6300. Yield SBN 10 tahun berpeluang dalam rentang 6,8-7% yang dipicu oleh arus masuk modal asing yang juga berpotensi memperkuat rupiah menguat di bawah 14.000-an.